Sabtu, 11 Oktober 2008

Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurruddin

Azhari

TELAH diceritakan dalam kisah yang lebih panjang, bahwa sebuah sidang sedang menunggu dengan hati berdebar apakah Sultan Nurruddin memutuskan hendak membeli sebuah batu permata bernama Mutiara Tuhan atau tidak.

Sidang itu terdiri dari para tukang nujum yang sedang berupaya mendorong Sultan untuk memiliki permata itu, sebab dalam nubuat yang mereka terima, hanya dengan batu mulia itulah ratusan tahun kemudian Lamuri dapat diselamatkan dari pendudukan Jenderal Mata Sebelah yang muncul dari seberang lautan sebagaimana halnya nasib Negeri Khurasan yang pernah ditakbirkan Al-Hadis.

Berdiri di samping para ahli nujum adalah seorang jauhari yang sangat berpengalaman. Jika tukang nujum mampu menghapal ratusan hadis, maka sang jauhari dikaruniai ingatan untuk mengetahui riwayat ribuan jenis permata, pun firasatnya mampu menentukan permata mana yang mengandung kutukan dan mana yang membawa keberuntungan. Limpahan kekayaan membuat sang jauhari dapat meniru apa saja yang menjadi kegemaran Sultan Nurruddin, juga dalam hal mengumpulkan batu mulia. Bahkan tak jarang ia bersaing dengan Sultan untuk memburu permata langka yang sama, dan kenyataan ini kadangkala membuat Sultan Nurruddin sakit hati kepadanya. Tapi kalau dia disingkirkan, kepada siapakah lagi Sultan harus memastikan bahwa sebuah manikam terbebas dari kutukan?

Kali ini, pengetahuan sang jauhari kembali membuat majelis kagum sekaligus terguncang. Dia paparkan riwayat Mutiara Tuhan yang sangat panjang, yang mampu menyeret dua nabi Allah yaitu Khaidir dan Sulaiman pada sepertiga cerita. Entah karena ingin memiliki Mutiara Tuhan untuk dirinya sendiri atau karena nyawa Sultan Nurruddin lebih berharga, dia menyimpulkan di ujung ceritanya bahwa Sultan Pelindung Kaum Beriman dan Penumpas Kaum Murtadin ini tidak pantas menyerahkan takdirnya pada batu yang penuh kutukan ini.

Tak jauh dari Sultan Nurruddin berdiri seorang perempuan dengan air muka yang tak tersangka-sangka karena cadar telah menutupi hampir seluruh wajahnya. Dialah Ainul Mardiyah, perempuan pembawa Mutiara Tuhan.

Di belakang Ainul Mardiyah berbaris sembilan laki-laki yang menyaru sebagai pengiringnya, namun sesungguhnya mereka adalah sisa terakhir anggota Persaudaraan Rahasia Kura-kura Berjanggut, musuh utama Sultan Nurruddin yang telah diselamatkan oleh Si Ujud. Dengan kutukan batu permata itu, sebagaimana pesan terakhir Si Buduk (satu dari sembilan pemimpin puncak Kura-kura Berjanggut yang telah dibinasakan oleh Sultan) mereka berencana membunuh Sultan melalui utusannya Si Ujud.

Di dalam barisan itu pula terdapat enam lelaki lainnya, utusan sebuah puak pemburu harta yang mendiami muara tersembunyi di Kepulauan Sulu. Mereka tidak ada urusan dengan segala macam rencana pembunuhan Sultan, mereka hanya menghitung seberapa banyak keuntungan yang bakal dibawa pulang andai Sultan lebih memilih saran para tukang nujum daripada sang jauhari.

Berdiri pada saf yang sama dengan para tukang nujum dan sang jauhari adalah Si Ujud. Dia termasyhur sebagai syahbandar Lamuri namun ia lebih banyak bekerja sebagai kepala mata-mata rahasia Sultan Nurruddin. Pamornya dalam menumpas persaudaraan Kura-kura Berjanggut membuat Sultan Nurruddin tak ingin menggantinya dengan orang lain sebagaimana yang lazim ia lakukan selama ini, tentu setelah terlebih dahulu membunuh semua kepala mata-mata sebelumnya. Sesungguhnya Si Ujud sendiri sudah lama memendam dendam-kesumat untuk membunuh Sultan.

Ia hendak membunuh Sultan dengan kutukan Mutiara Tuhan, sementara kita lihat dia berdiri dekat sekali dengan junjungannya itu.

Mutiara Tuhan tidak akan datang dengan kakinya sendiri ke Lamuri dan bukan pula dengan perantara sejenis kegaiban, melainkan berkat pertemuan yang langka seorang perempuan dengan Tuhannya pada suatu hari dan peran sejenis bumbu masak kegemaran awak kapal penangkap perompak pada hari yang lain. Saya kutip lagi cerita itu, cerita yang pernah dituturkan Si Buduk kepada Si Ujud, yang kemudian diceritakan kembali oleh Si Ujud kepada persaudaraan rahasia Kura-kura Berjanggut agar komplotan itu membawa Mutiara Tuhan ke Lamuri.

Pertemuan yang Langka

BERABAD-ABAD silam, bagai ingin menandaskan kembali di hadapan umat manusia bahwa Tuhan dapat melakukan apa saja, Dia yang satu ini pergi ke Barat pada suatu pagi. Kepergian-Nya yang penuh makna itu membuka pintu takdir yang berbeda-beda bagi tiga golongan umat-Nya.

Golongan pertama adalah sebagian besar umat-Nya yang hanya menunggu kepulangan-Nya, oleh sebab Dia memang berjanji untuk kembali pada suatu hari nanti.

Andai muara, cadas, dan beting karang di teluk itu Dia beri kemampuan bertutur, maka mereka adalah saksi yang paling terpercaya dan tua untuk mengungkapkan bagaimana sehari setelah kepergian-Nya ratusan orang berlomba-lomba mengayuh perahu mengikuti alur perahu-Nya, oleh sebab telah Dia janjikan keabadian kepada siapa saja yang dapat bertemu dengan-Nya dalam perjalanan-Nya menuju Barat. Inilah golongan kedua, mereka yang sampai sekarang dikenal sebagai para pemburu keabadian dari Timur.

Golongan ketiga adalah sebuah wangsa terpandang yang pernah menyelenggarakan sayembara menangkap burung ajaib dengan hadiah seorang perempuan rupawan. Sayembara itu sendiri mengawali kemunculan-Nya untuk pertama kali dari tempat-Nya yang gaib setelah Dia saksikan tak ada satu pun manusia yang mampu menangkap si burung. Dia muncul sebagai seorang yang buruk rupa serta lemah bagai tidak mampu menolong diri sendiri. Barangkali penyaruan ini mengandung maksud agar umat manusia tidak terguncang oleh wujud asli-Nya. Tapi ketika Dia berhasil menangkap si burung, wangsa yang memalukan ini sama sekali tidak takjub oleh kemampuan-Nya, melainkan terpengaruh oleh wujud lahiriah-Nya, sehingga mereka merasa adil untuk menukar taruhan si perempuan rupawan dengan seekor babi hutan.

Kepergian-Nya ke Barat barangkali tak ada hubungannya dengan sikap tak senonoh wangsa ini, namun kemudian mereka sungguh menyesali perbuatan mereka kepada-Nya dalam sayembara itu, dan mereka percaya bahwa kemuliaan mereka akan kembali tegak apabila ada salah seorang dari mereka yang dapat membujuk Dia untuk kembali pulang ke Timur. Itu sebabnya, sambil beradu keberuntungan dengan para pemburu keabadian, wangsa ini mengutus sejumlah perempuan mereka ke arah matahari tenggelam untuk membawa Dia pulang.

Oleh rangkaian takdir seperti itulah aku berjumpa dengan Ainul Mardiyah pada suatu hari di Tumasik pada waktu pertemuan tahunan sembilan pemimpin puncak Persaudaraan Kura-kura Berjanggut.

PERSAUDARAAN rahasia seperti Kura-kura Berjanggut yang berniat mengakhiri hidup seorang Sultan penguasa lautan tidak akan mungkin berumur panjang apabila tidak berlindung pada aturan. Menyelenggarakan pertemuan tahunan di sebuah bandar yang kotor, menghindari untuk pergi bersama dan pulang dalam waktu berbeda adalah sebagian dari aturan itu. Kupikir kepatuhan pada aturan telah menjaga aku sedemikian rupa, sehingga tidak kusadari ada seseorang yang terus mengawasiku sejak turun di pintu gerbang bandar.

Pada malam hari sebelum pertemuan, seseorang di antara kami menyelia keadaan di sekeliling penginapan dan dia melihat seorang perempuan duduk di kursi ruang tunggu. Sambil mengawasi orang-orang yang naik-turun tangga, seketika dia berprasangka bahwa perempuan itu pastilah mata-mata Sultan Nurruddin. Kami semua setuju dengannya. Kami menunggu sampai kokok ayam pertama terdengar. Lalu seseorang lain di antara kami turun ke bawah dan dia melihat hal yang sama. Malam itu juga kami putuskan untuk membatalkan pertemuan sebelum akhirnya kami keluar satu demi satu.

Aku keluar pada giliran kelima, aku ingat hari hampir terang tanah, dan dia tepat menghadangku di pintu penginapan.

"Tuan Tuhan kami!"

Bukan panggilan lirihnya yang membuatku terpukau, tapi semata-mata kejelitaannyalah.

"Tuan Tuhan kami!"

Tak mendapat tanggapanku sekali lagi dia ulang kata-kata itu dengan lebih keras. Aku lantas berpikir, bahwa Sultan Nurruddin tak kehabisan akal untuk menjebak musuh-musuhnya bahkan kalau perlu memanggil mereka sebagai tuhan. Aku telah terbiasa menghadapi kecerdikan seperti yang kuhadapi sekarang, jadi aku tidak akan menghindar.

"Ikutlah ke mana langkah Tuhan jika demikian!" Aku berpikir kalau dia percaya bahwa aku adalah Tuhannya tentu dia mau mengikuti ke mana saja aku membawanya, dengan demikian aku dapat mengulur waktu agar delapan pemimpin yang lain dapat mencapai tujuan mereka masing-masing. Kalaupun terjadi sesuatu, itu hanya akan menimpaku seorang.

Perempuan ini pasti gila. Tapi seorang perempuan gila pun terlalu menarik perhatian untuk berjalan di samping seseorang yang mengenakan jubah Arabia. Maka sebelum aku mampu menjelaskan bahwa aku bukan Tuhannya, kuminta dia untuk bertukar busana dengan setelan pengembara Arabia. Cadar coklat yang menutup wajahnya itulah yang membuat Si Ujud tidak dapat melihat rupanya yang jelita.

Lalu perlahan-lahan mulai kujelaskan bahwa aku adalah seorang pedagang dan bukan Tuhannya. Tapi dia tidak percaya. Dia tetap berkata, "Tuan Tuhan kami." Aku memang tidak mempunyai bakat untuk meyakinkan orang gila, tapi aku percaya orang gila pada umumnya cepat bosan terhadap sesuatu hal. Jadi aku berharap barangkali esok atau lusa dia akan pergi dari sisiku ketika telah dia lihat Tuhan pada wajah orang lain.

Semuanya di luar dugaanku.

"Tuhan, mari pulang ke Numfur." Itulah yang terucap dari mulutnya setelah lima hari bersamanya aku hanya mendengar, "Tuhan tuan kami." Aku tak menjawab ajakannya melainkan bertanya, "Kau orang Numfur?"

"Bukan, Tuhan."

"Jadi kau dari mana?"

"Labuan."

"Pernah tinggal di Numfur?"

"Tidak, Tuhan."

"Bisakah kau tidak memanggilku dengan sebutan Tuhan? Kau boleh memanggilku Kadi."

"Bisa, Tuhan." Lantas dia mendekap mulutnya dan mungkin tidak akan dia lepaskan kalau aku tidak menarik tangannya dari sana.

Aku tak mungkin terus bertanya padanya. Perempuan ini hanya mau menjawab apa yang aku tanyakan, barangkali dia berpikir aku mengetahui segalanya tentang dirinya. Maka aku minta dia untuk menceritakan siapa dirinya.

Dia telah enam tahun mencari Tuhannya yang pergi pada suatu masa ketika orang belum mengenal penanggalan. Umurnya sekarang dua puluh satu. Setiap tahun dia selalu merangkak kian ke barat, singgah dari satu bandar ke bandar lain sambil bekerja sebagai apa saja untuk mempertahankan entah hidupnya entah kutukannya. Hal inilah yang membuat dia mengetahui banyak hal sekaligus mengalami banyak sekali kejadian. Dia selalu mencari orang-orang dengan kudis di tubuh karena itulah satu-satunya tanda yang ditinggalkan Tuhannya. Dari sekian banyak orang dengan penyakit kudis yang ditemuinya hanya akulah yang menurut dia bisa dipastikan sebagai Tuhannya.

Kukatakan padanya bahwa aku harus pergi sedikit lagi ke arah barat. Sebagai Tuhan ada banyak tugas yang harus kuselesaikan, baru setelah itu aku akan pulang ke Numfur bersamanya. Apa yang Tuhan katakan tentu harus dipatuhinya. Begitulah dia menerima semua ketentuan yang aku gariskan. Untuk menjaga harapannya kuberikan dia beberapa tugas yang awalnya tak lebih dari hal remeh-temeh, seperti mengawasi orang-orang yang bakal berkunjung ke Lamuri dan memasok seluruh keterangan yang menyangkut dengan Sultan Nurruddin. Sebagai Tuhan yang baik kuberikan dia nama Ainul Mardiyah dan aku berjanji untuk datang menjumpainya setahun sekali.

Persaudaraan Kura-kura Berjanggut sungguh beruntung mempunyai seorang Ainul Mardiyah di Tumasik. Tentu aku ingin mendapat lebih. Pada tahun ketiga kuminta dia menghimpun pengikut. Pada tahun keempat, yaitu di saat kau menumpahkan bubuk hitam itu, dia sudah mampu membangun sebuah majelis yang kuat di sana.

Wahai Si Ujud, waktu kau turun di Tumasik, sebelum berganti kapal dan melanjutkan perjalanan ke Lamuri, barangkali karena tergesa-gesa kau menabrak Ainul Mardiyah, perempuan bercadar yang tak kau kenal, dan kancut buntalan di tanganmu terlepas. Berhamburlah ratusan bubuk hitam dari wadahnya. Pada perempuan yang kausenggol dan membantumu meraup kembali hablur itu kau katakan, "Inilah bumbu hitam."

Dari apa yang kautumpahkan itu dia lalu menyusuri jejakmu dan menuliskan penyelidikannya.

Bumbu Hitam Penangkap Perompak

PEROMPAK Kastilia pernah terkecoh karena tidak dapat membedakan bumbu hitam sebagai penyedap masakan dengan nama sebuah armada penangkap perompak. Bumbu hitam sebagai bumbu masak terbuat dari campuran kelapa dan cabe yang dibakar, dan ramuan ini telah lama menjadi teman setia orang Sulu di kesunyian lautan terutama karena keawetannya. Setiap mereka pergi melaut bumbu itu pasti diajak serta, baik untuk dikudap begitu saja maupun untuk penyedap masakan. Terilhami oleh kelezatan bumbu ini, Panglima Sama Banglani si penangkap perompak Kastilia dan datu pelindung orang Sulu, memberi nama armadanya Bumbu Hitam, armada yang sangat ditakuti sekalian perompak di lautan itu, terutama perompak Kastilia.

Tapi sejak perompak Kastilia berhasil menggantung Panglima Sama Banglani di bandar Zamboanga keadaan sudah banyak berubah. Jika dulu perompak ini menjadi sasaran utama perburuan Bumbu Hitam, maka sekarang adalah kebalikannya. Orang Kastilia bersumpah untuk memburu sisa-sisa armada Bumbu Hitam sampai ke ujung dunia. Orang Sulu, pemilik bumbu hitam sejati, begitu mengetahui kematian sang pelindung yang mereka cintai dan mendengar sumpah orang Kastilia itu, serentak menumpahkan bumbu hitam ke seluruh penjuru lautan. Inilah cara mereka untuk menyelamatkan sisa armada Bumbu Hitam dengan cara mengacaukan jalur pengejaran perompak Kastilia, sehingga masa itu pada sebuah bandar atau pangkalan sering ditemukan ceceran bumbu hitam tanpa sebab yang jelas.

Tapi tahun-tahun pengacauan jalur pengejaran itu sudah lama berlalu. Bumbu hitam kembali ke tempat asalnya, yakni panci dan kuali, bersama jahe, ikan atau ayam, menjadi sop hitam yang lezat. Armada penangkap perompak itu sendiri sudah lama tidak terdengar kabar beritanya. Maka aku sungguh penasaran ketika ada seseorang yang membawa-bawa bumbu itu di dalam buntalannya. Sehingga aku merasa tergugah untuk mengusut dari mana datangnya dan ke mana tujuan si orang dagang.

Apa yang kudapatkan membuat aku berbesar hati. Jika Kadi beranggapan bahwa salah satu tujuan melawat ke Barat adalah untuk mengakhiri hidup Sultan Nurruddin, maka orang yang kuselidiki ini juga mempunyai maksud yang sama. Dia adalah Si Ujud, nakhoda salah satu eskader Bumbu Hitam. Dia bukan orang Sulu, tapi berasal dari Lamuri. Tidak perlu heran apabila awak kapal Bumbu Hitam berasal dari negeri-negeri yang jauh. Untuk menangkap perompak Kastilia, Panglima Sama Banglani membutuhkan banyak sekali ahli dan para petempur untuk mengisi ratusan eskadernya, belum lagi tukang dayung dan pembersih geladak. Dia tidak mendapatkan seluruh tenaga itu dengan cuma-cuma. Sementara dia tidak seberuntung datu-datu penangkap perompak di masa silam, yang selalu dilindungi Mutiara Tuhan.

Dia mewarisi batu manikam itu tapi dia tidak mempunyai seseorang sebagai si penjaga batu. Sudah menjadi ketentuan bahwa Mutiara Tuhan harus diwariskan kepada seorang anak pilihan, sementara ibu yang melahirkan si anak adalah orang yang bertugas menjaga batu itu, yang hanya boleh dikeluarkan apabila si anak membutuhkannya. Hanya di tangan seorang perempuan terpilih itulah sang batu dapat ditundukkan. Masalahnya, Panglima Sama Banglani tidak mempunyai keturunan sehingga dia tidak dapat memilih salah satu dari istrinya sebagai si penjaga batu. Maka dia putuskan untuk menguburkan batu itu di dalam liang lahat ibunya, penjaga terakhir Mutiara Tuhan.

Dia lalu membuka sebuah cerita lama, yang disimpan rapat oleh datu-datu dan perempuan pilihan, cerita tentang Mutiara Tuhan, sebuah batu yang membawa keberuntungan bagi siapa saja yang dapat memilikinya bahkan walau dia hanya melihat pancaran cahayanya saja. Seperti kekuatan yang ditimbulkan oleh hembusan angin ekor duyung, cerita itu menarik orang-orang dari seluruh penjuru lautan untuk bergabung dengan armada Bumbu Hitam, terutama puak pemburu harta, sekalipun pertama-tama mereka harus berhadapan dengan perompak Kastilia, yang kata empunya cerita juga memburu batu manikam yang sama.

Si Ujud adalah salah seorang yang terhasut cerita itu dan dia ingin menggunakan Mutiara Tuhan untuk membunuh Sultan Nurruddin.

Dengan memperhatikan kebiasaan Panglima Sama Banglani menziarahi kuburan ibunya apabila dia mau atau usai menyergap perompak Kastilia, Si Ujud telah lama memikirkan sebuah kemungkinan bahwa sang Panglima menyembunyikan batu itu di dalam kuburan ibunya. Hal ini dia sampaikan kepada sang puak pemburu harta, pihak yang dia hasut kelak untuk menjual si batu permata kepada Sultan Nurruddin sebagai penawar tinggi.

Namun puak itu sendiri, ya Kadi, setelah kuselidiki, tidak pernah tahu di mana kuburan sang ibu Panglima Sama Banglani. Sementara Si Ujud, sejak armada penangkap perompak Bumbu Hitam dikalahkan perompak Kastilia, hilang entah di mana, hingga pada akhirnya dia menabrakku di bandar Tumasik ini. Bumbu hitam yang masih dia bawa-bawa itu menunjukkan betapa jauhnya dia bersembunyi selama ini, sehingga tidak dia ketahui bahwa masa pengacauan jalur pengejaran perompak Kastilia dengan tipuan bumbu hitam sudah lama berlalu.

Azhari tinggal di Banda Aceh. Kumpulan cerita pendeknya adalah Perempuan Pala (2005).

Kamis, 04 September 2008

Opini

Hukum Nasional yang Islami

Oleh Moh. Mahfud M.D.
Sampai sekarang masih banyak warga Islam di Indonesia yang memperjuangkan pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum formal, yakni berlaku berdasar penetapan negara sebagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk tertentu.

Mereka beralasan, di dalam negara Pancasila yang berdasar Ketuhanan Yang Mahaesa, hukum Islam menjadi sumber hukum nasional. Selain itu, dikatakan bahwa pemberlakuan hukum Islam adalah keniscayaan prinsip demokrasi. Karena lebih dari 80 persen warga negara Indonesia beragama Islam, wajar saja jika melalui proses yang demokratis hukum Islam dijadikan hukum nasional.

Pandangan seperti itu sebenarnya tidak sejalan dengan mainstream pandangan kaum muslimin di Indonesia. Sebagian besar kaum muslimin di Indonesia, seperti yang ditunjukkan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, tidaklah (sekurang-kurangnya tidak lagi) memperjuangkan berlakunya hukum Islam sebagai hukum resmi di Indonesia.

Justru yang diperjuangkan mereka ialah kebebasan dan perlindungan oleh negara bagi kaum muslimin dan umat beragama lain untuk melaksanakan ajaran agama masing-masing.

Dalam pandangan demikian, kaum muslimin bebas menjalankan ajaran hukum Islam dalam lapangan keperdataan tanpa diwajibkan oleh negara. Sedangkan dalam lapangan hukum publik, tunduk pada hukum nasional yang bersifat unifikatif (berlaku sama untuk semua warga negara meskipun agamanya berbeda-beda).

Dalam lapangan hukum publik seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum tata pemerintahan, hukum lingkungan hidup, dan sebagainya, yang berlaku bukanlah hukum agama tertentu. Pandangan inklusif seperti itu merupakan konsekuensi dari pilihan kita mengenai hubungan antara negara dan agama yang dirajut dalam apa yang kita sebut sebagai negara Pancasila.

Negara Pancasila bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara yang "bukan-bukan." Hukum adalah pelayan masyarakatnya dan sistem hukum Pancasila adalah landasan pelayanan hukum terhadap masyarakat yang berfalsafah Pancasila.

Sebagian umat Islam Indonesia telah pernah memperjuangkan secara demokratis melalui parpol-parpol Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional yang formal. Sebagian umat Islam telah memperjuangkan "formalisasi Islam" itu melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945, melalui Konstituante 1956-1959, dan melalui MPR 1999-2002.

Namun, perjuangan yang telah ditempuh secara demokratis itu gagal karena tidak semua umat dan tokoh Islam menyetujuinya. Sebagian besar umat dan tokoh Islam sendiri memilih hukum nasional yang inklusif. Yakni, hukum nasional yang menyatukan ide hukum semua agama dan subsistem kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Dengan menerima hukum yang inklusif seperti itu, umat Islam tidak harus menjadi murtad karena, misalnya, meninggalkan ajaran-ajaran Islam.

Kaum muslimin Indonesia tetap dapat menjalankan perintah agama Islam melalui hukum-hukum nasional yang inklusif. Apalagi, apa yang disebut hukum Islam yang diperjuangkan oleh sebagian umat Islam itu hanyalah fiqh yang tak lain merupakan hasil ijtihad fuqaha'.

Dengan menerima berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apa pun, bahkan dapat membuat fiqh sendiri yang khas Indonesia.

Ada kaidah ushul fiqh yang biasa dipakai dalam penerimaan atas hukum inklusif itu, yakni maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu. Jika tidak dapat mengambil seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya. Jika sudah memperjuangkan secara demokratis untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum formal nasional tetapi gagal, berjuanglah melalui sisa peluang yang tersedia, yakni melaksanakan hukum Islam secara inklusif sebagai produk demokrasi.

Dalil lain yang juga sering dipakai adalah al'ibrah fil Islaam bil jawhar laa bil madzhar, patokan dasar dalam perjuangan Islam adalah substansinya dan bukan simbol-formalitasnya. Substansi ajaran Islam dalam bidang hukum dan konstitusi misalnya perintah tentang penegakan keadilan, kejujuran, pemimpin yang amanah, perlindungan HAM, demokrasi, dan sebagainya.

Dengan dalil ini, setelah tak berhasil memperjuangkan konstitusi dan hukum Islam secara formal dan kemudian untuk tunduk pada hukum nasional yang inklusif, umat Islam harus memperjuangkan nilai-nilai substansi ajaran Islam sehingga konstitusi dan hukum nasional itu menjadi konstitusi dan hukum yang islami.

Yang harus diperjuangkan oleh umat Islam sekarang bukanlah berlakunya hukum Islam, melainkan berlakunya hukum yang islami. Hukum Islam cenderung formal-simbolik, sedangkan hukum islami lebih menekankan pada substansi yang memuat makna-makna substantif ajaran Islam.

Hasil ijtihad jumhur ulama di Indonesia dan ulama di banyak belahan dunia menyimpulkan bahwa pilihan atas hukum nasional yang inklusif atau hukum yang bukan formal-simbolik Islam, tetapi bersubstansi islami, tidaklah berdosa; malah dianjurkan. Ini dimaksudkan agar kaum muslimin dapat hidup berdampingan, membangun kalimatun sawaa (kesamaan pandangan tentang hukum dan masalah-masalah kemasyarakatan) dengan kaum agama lain dengan menyumbangkan substansi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional.

Dengan demikian, meskipun secara formal hukum nasional kita bukanlah hukum Islam, secara substansial hukum nasional kita merupakan hukum nasional yang islami atau berwatak Islam karena memuat nilai-nilai keadilan, amanah, kejujuran, demokrasi, perlindungan HAM atau fitrah, dan sebagainya yang merupakan nilai-nilai substantif ajaran Islam. Di sini pula letak arti bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum nasional sebagai bahan pembuatan hukum dan bukan hukum formal nasional itu sendiri.

*Moh Mahfud M.D., Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta

(Jawa Pos, Kamis, 04 September 2008)

Selasa, 05 Agustus 2008

Menyesal

Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang menghadang
Usiaku sudah tinggi
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu miskin harta
Ah...apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda aku harapkan
Atur barisan di hari pagi
Menuju kearah padang bakti


Minggu, 20 Juli 2008

Semangat Kebersamaan

Cinta itu sebuah perjuangan
Cinta tidak pernah datang dengan cara murah datang dari langit
Semuanya harus kita perjuangkan
Dan seringkali cinta itu baru mekar setelah kita itu bisa melewati berbagai macam rintangan
Derita bukan musuhnya cinta
Derita itu sedang membuat cinta itu semakin lebih dewasa

Gede Prama